Tulisan : Ibu – Bukanlah Robot Penghasil Cinta

Tangki Cinta yang Kosong

Dalam Fitrah Peran Bunda, seorang Ibu salah satunya memiliki peran “The Person of Love & Sincerity”. Yang memberikan cinta dan ketulusan. Yang tanpa pamrih merawat dan menjaga, hampir 24 jam dalam setiap harinya. Ibu Sang Penghasil cinta.

Seorang Ibu bisa terus mencintai anaknya. Mencintai anak tidaklah sulit sebenarnya. Tapi menyelesaikan semua tugas rumah tangga yang tercakup dalam ekspektasi diri dan orang lain itu yang sulit. Ingin rumah bersih rapih, memasak tepat waktu, anak tidak rewel, punya waktu mandi yang nyaman, ingin punya lebih banyak waktu untuk tidur, dsb. Sulit untuk memenuhi semua itu. Pada akhirnya Ibu berdamai bahwa tak mungkin semuanya terwujud. Dan keluarga lainnya juga seharusnya begitu.

Dengan semua cinta yang diberi di setiap harinya, memang terbentuk cinta-cinta baru yang diperbaharui dengan syukur dan sabar. Dengan kebahagiaan dan senyuman. Dan semua hal baik lainnya. Tapi bukan berarti seorang Ibu tak bisa terkuras. Bukan berarti seorang Ibu tak bisa kehabisan cinta.

Ibu-di luar sana-yang menyakiti anaknya adalah contohnya. Tangki kosong yang tak bisa menuangkan bulir cinta, malah menumpahkan air mata. Tangki yang kehilangan sumber cinta dan bahagia, kehilangan juga kemampuan sabarnya dan logikanya.

Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari Allah, Dia yang Maha Cinta, mengisi supply kebutuhan cinta yang diilhamkan kepada hati para Ibu di dunia, tapi bukan berarti Ibu tak butuh diisi cintanya oleh orang terdekatnya. Merasa dicintai, adalah sumber kekuatan, tak bisa kita pungkiri.

Bukanlah Robot

Barangkali ada seorang Ibu tak pernah ditanya bagaimana kabarnya, disaat yang sama keluarga atau orang lain hanya peduli dengan bayinya yang manis dan lucu. Sakit sakit di badannya tak ada yang peduli, yang mungkin hanya dinasihati, “Sabar ya”. Tak ada lagi foto kebanggaan dirinya berisi kenangan tentang dirinya, kini kebanyakan diisi oleh sang buah hati dan orang lain yang meminta foto bersamanya.

Seperti kedengarannya, bukan robot. Jelas. Ibu adalah manusia. Bisa kelelahan dan marah. Bisa sakit hati dan terluka. Bisa sakit dan tak berdaya.

Jangan minta seorang Ibu untuk menampik semua perasaan itu, bahkan demi sang anak. Yang perlu dilakukan adalah membantu seorang Ibu untuk melampiaskan semua rasa itu dengan benar.Tak ada ibu yang sempurna, begitu juga untuk sang Ayah.

Menjadi orang tua, kita dianugerahi kekuatan. Kita bisa melakukan apa saja yang diperlukan. Tapi bukan berarti melupakan jati diri orang terdekat kita yang sedang menjadi orang tua, apalagi orang tua baru, mereka juga manusia.

Seringkali Ikhlas Butuh Dibantu

Salah satu percakapan terbaik versiku di film ayat-ayat cinta : Saat Aisyah pergi dari rumahnya (yang ada Maria dan Fahri) karena cemburu dan perasaan yang teraduk-aduk, Fahri mengatakan ini kepada Aisyah untuk menjemputnya kembali : “Ikhlas Aisyah. Itu yang saat ini aku berusaha untuk jalani. Aku tidak ikhlas menerimamu lebih kaya dari aku, aku tidak ikhlas menerima kondisi kita bertiga dengan Maria, hingga aku tidak tahu adil itu apa dan bagaimana. Aku akan belajar lagi. Tapi untuk itu aku butuh kamu.”

Dari percakapan ini, aku mengambil salah satu hikmah bahwa untuk mencapai titik keikhlasan, kita sebagai manusia yang lemah, seringkali butuh dibantu. Keikhlasan ditemukan dalam ketenangan. Konteks diatas , Fahri sebagai suami membutuhkan Aisyah sebagai istri untuk membuatnya tenang.

Bantuan itu, bukan hanya dibantu secara spiritual melalui kedekatan kepada Sang maha Pencipta, tapi seringkali juga bantuan secara langsung. Melalui perpanjangan kasih sayangNya, pertolongan nyata itu dibutuhkan, semisal orang tua yang kehilangan anaknya karena terbunuh. Mengapa sang orang tua menyuarakan keadilan dan hukuman terhadap pelaku? Bukan berarti orang tua tersebut tak ikhlas akan kehilangan anaknya, tapi dengan keadilan itulah hadir ketenangan. Ketenangan yang menghasilkan keikhlasan.

Seorang Ibu yang penuh kekhawatiran, yang dicekoki kalimat negatif, tak dipercaya mengurus anaknya, tak cukup dicintai keluarganya, tak diisi nafkah lahir batinnya, apakah mampu untuk ikhlas menjalani perannya sebagai Ibu? Sulit. Hm, Mungkin ada yang bisa, dengan hikmah dari Allah tentunya.

Bantulah para Ibu. Bantulah juga para Ayah.

Inilah sedikit perenunganku. dari kisah yang diceritakan bibir, atau dari cerita dari film yang kusimak, dari nasihat pernikahan yang kudengar, dari pengalaman dalam mencintai sebagai seorang Ibu

Para Ibu, jangan lupa cintai diri sendiri
Jangan lupa cintai ayah
Dan salinglah mendukung ^^


Muthi Fatihah Nur
17/2/2023

Prosa : Saat aku berbincang dengan Tuhan tentang air mataku

Salah satu (mungkin) anugerah Tuhan telah memberiku kelenjar air mata yang begitu mudah tersentuh sesuatu, ia mengalir tanpa kuperintah dengan akal.

Menangis yang kukira ia bukanlah refleks, tapi hasil perintah otak, entah padaku, ia seringkali tak bisa kuatur.

Jika hatiku memang terasa perih, tak kutahan jika air mataku ingin mengalir.

Jika aku menyadari diriku sedang bersedih, tak kutahan jika air mataku ingin mengalir.

Jika aku kesepian dan merasakan rindu yang dalam, tak kutahan jika air mataku ingin mengalir

lalu, saat hatiku mengingat Tuhan saat menangis, segala yang ada di kepala berkecamuk.

Kulepaskan kata-kata pengakuan akan kelemahan.. Keinginan dan do’a yang tak tersampaikan atau luka kecil yang ingin diikhlaskan

Kukatakan pada Tuhan,
Maafkan aku Bukan berarti aku tak bersyukur, Tuhan
Bukan berarti ku tak terima ketetapanMu, Tuhan
Bukan berarti ku abai akan hadirMu yang menemaniku, Tuhan”

Kutahu tangis tak akan selesaikan masalahnya.
Kutahu tangis tak memudahkan rintangannya
Kutahu air mata tak mengubah keputusan yang harus diterima
Kutahu air mata tak membuat orang yang dindukan datang

Aku hanya ingin sekedar menangis dan mengosongkan lara yang terperangkap di dalam dada.
Sudah, itu saja.
Setelahnya, aku akan bangkit dan berusaha.

apalah arti semua air mata ini”,
kupikir air mataku mungkin tanda kelemahan, tapi siapa peduli.
Tuhan, Kau yang paling tahu tentang aku, bahkan tanpa aku mengatakan sesuatu

ditulis dalam kepala perempuan yang tak bisa menahan air matanya

– 11 / 2 / 2022

Menyelami Kembali Makna Bersabar

وَكَيْفَ تَصْبِرُ عَلٰى مَا لَمْ تُحِطْ بِهٖ خُبْرًا
Dan bagaimana engkau akan dapat bersabar atas sesuatu, sedang engkau belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?” (Al Kahfi : 68)

Bagaimana kita bisa bersabar, saat kita sendiri tak tahu apa makna bersabar?


Sambil mengingat kembali, izinkan aku menuliskan definisi yang mungkin sudah kamu ketahui ini : Sederhananya, secara bahasa, Sabar artinya menahan. dan secara istilah sabar berarti menahan diri dalam tiga perkara : (1) ketaatan kepada Allah, (2) hal-hal yang diharamkan, (3) takdir Allah yang dirasa pahit (musibah). (Ada banyak lagi definisi sabar yang lainnya dan lebih kompleks yang meliputi pembagian dsb tapi gak akan kita bahas disini ya ^^v)

Pernahkah kamu berada dalam suatu masa yang sulit sehingga perasaan yang bisa kamu kenali adalah sedih, marah, lelah, frustasi. Kamu lupa sekejap apa itu artinya sabar, dan ridha.

Kamu pernah?
Aku pernah. Bahkan sedang. Sedang merenungi kembali makna kesabaran yang beberapa waktu ini, aku kekurangan tenaga untuk memaknainya di dalam hati.

Apakah kesabaran hanyalah sebuah teori yang diingat akal tanpa bisa mengubahya menjadi kebijaksanaan? Seharusnya pengetahuan membuat diri kita menjadi bijaksana.

Oleh karena itu, aku ingin membisikkan kepadamu sebuah hal kecil yang perlu kita perhatikan agar bisa membantumu…. dan membantu diriku juga.. untuk menyelami kembali makna kesabaran.

Mengetahui perihal yang kita sabari

Bersabar itu butuh ilmu. Kembali ke ayat diatas, “Dan bagaimana engkau akan dapat bersabar atas sesuatu, sedang engkau belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?” , ini sudah cukup menggambarkan bahwa kita perlu mengetahui ‘perihal’ yang akan kita sabari.

Dengan mengetahui perihal tersebut, kita akan mampu memahami kondisi aktual diri, mempelajari cara mengatasi hal yang menggoyahkan sabar kita, dan bertindak tepat untuk mengatasi kesulitan tersebut. (sewajarnya kita selalu menyabari kesulitan kan, dan mensyukuri kemudahan hehe)

Contoh, aku dalam kondisi diuji dengan imunitas yang menurun karena sedang mengandung. Hal tersebut menyebabkan aku gatal-gatal yang entah karena makanan apa atau yang mana. Setiap malam aku kesulitan tidur dan juga mengalami luka-luka. Aku perlu waktu untuk tidak marah dan menerima kondisi ini. Suamiku berkata, “Sabar.. Sabar..” . Bagiku kata-kata itu seperti tidak ada artinya, seakan aku tidak tahu apa artinya.

Setelah mengalami proses berserah, aku menyadari bahwa aku perlu melakukan sesuatu selain menggerutu tentang sakit ini. Aku belajar tentang kondisi alergi ini. Mengapa, apa penyebabnya, bagaimana cara mengatasinya. Selanjutnya aku belajar untuk mengatur protein yang masuk ke dalam tubuh, aku belajar bagaimana mengatasi gatal yang berlebihan, aku belajar bagaimana mengurangi lebam dan luka di tubuh, dan mengurangi efek alergi di tubuh.

Yah, begitu. Setelah kita sendiri sudah tahu teori atau arti dari sabar tersebut, maka selanjutnya kita akan harus belajar tentang kondisi yang kita sabari. Pekerjaan kita, kondisi keluarga, kisah cinta, dan lain sebagainya. Kalau sudah tahu (karena sudah belajar), hati tidak lagi was-was dan gelisah dan akhirnya tidak cepat marah. Ilmu memanglah kunci ketenangan.

***

Ridha dan Rasa Sakit

Bahkan setelah semua kesabaran yang kita lakukan, kita tetap bisa merasakan sakit dari luka, pengalaman, kejadian, pahit-sedih-menyakitkan-sulit yang kita alami. Merasakan sakit adalah hal alami bagi semua manusia, mereka yang tak bisa merasakannya biasanya akan sulit memahami perasaan manusia lainnya.

Dalam sebuah buku berjudul “Jagalah Allah, Niscaya Allah akan Menjagamu” yang ditulis oleh Syeikh Muhammad Ad-Dabisi, disampaikanlah perbedaan Sabar dengan Ridha.

Di dalam buku tersebut, Ridha adalah tingkatan penerimaan yang lebih tinggi dari Sabar. Ridha adalah kita menerima apa yang terjadi (Qadha) pada diri kita dan tidak berharap rasa sakit yang kita rasakan hilang dari diri kita.

Jadi tetap menerima, tetap ikhlas, dengan kesakitan yang dialami. Bukan tidak mencari solusi atau penanganan ya. Tapi menerima, secara sadar rasa sakit yang dialami sebagai sesuatu yang (kasarnya mungkin) pantas untuk kita. Demi mendapat pengampunan dari Allah atau dihapus dosanya, atau untuk naik ke derajat yang lebih tinggi di sisiNya.

Hal ini sangat sulit untuk benar-benar dihadirkan di dalam hati kita. Namun bukan berarti tidak bisa. Sama seperti kita yang pasti bisa mengatasi semua rasa sakit dan ujian yang Allah berikan kepada kita, karena sejatinya, ujian tersebut tak akan diberikan kepada kita bila kita tak sanggup menjalaninya. Itulah Janji Allah 🙂

Semoga kita bisa mendewasa dari hari ke hari dan terus dapat memaknai semua rasa di hidup ini dengan benar.

Sahabatmu,
Muthi Fatihah Nur

12 April 2022

Tulisan : Hidup tak pernah tentang kita saja

Pernahkah kamu membayangkan tentang hidup tanpa memberi?
Pernahkah kamu membayangkan hidup tanpa memberi manfaat?
Pernahkah kamu membayangkan hidup hanya untuk sekedar selamat?

Mungkin, beberapa orang di dunia ini bisa saja merasa begitu. Sulit untuk bertahan sehingga menahan untuk sendiri apa yang telah didapatkan. Sulit untuk sekedar hidup maka bagaimana caranya agar bisa memberi kehidupan pada orang lain?

Bermanfaat, bukan hanya dari pemberian yang indah dipandang mata dan mahal harganya, sampai sini kamu setuju denganku? Ia bisa memberi apa saja yang dipunya, bahkan meski hanya senyumannya.

Memang muslim seharusnya tak bermindset begitu. Karena semua muslim sesungguhnya adalah kaya. Ia bisa memberi apa saja yang dipunya Di dunia yang kian materialistis ini, Saat muslim tak kaya, setidaknya ia tahu seharusnya muslim adalah orang yang kuat. Saat muslim tak kaya setidaknya ia tahu bahwa harta bukanlah segalanya. Saat muslim tak kaya setidaknya ia tahu, bukan hanya harta yang dapat dikonversi menjadi kebaikan. Tapi tetap, diri perlu berusaha untuk menjadi berdaya.

Bermanfaat adalah salah sebuah kunci jawaban menuju syurga.

Maha baiknya Allah sehingga tak ada standar standar sebaik-baik manusia selain “bermanfaat untuk manusia lainnya”. Bisa jadi mulanya untuk keluarga, tetangga, komunitas, atau lanjut yang lebih besar lainnya.

Dan Maha Baiknya Allah tak memaksa kita bermanfaat di luar batas kemampuan. Tidak juga harus berlebihan. Masthsto’tum, semampu yang bisa kita berikan.

Oleh karena itu kita perlu sadari agar bisa menenangkan diri.
Juga perlu memahami agar bisa memacu diri,
Bahwa..

Tak ada kebaikan yang terlalu kecil untuk dibagi (Meski tak semua orang menghargai), Tak ada kehidupan yang tak bisa dimaknai (Meski tak semuanya bisa kita mengerti). Kehidupan kita memberikan sebab dan akibat, mengubah, dan membentuk manusia dan lingkungan di sekitar kita. Alangkah baiknya bila kita menjadi sumber kebaikan.

Yuk bisa yuk!


Mari kita meminta untuk selalu, selalu dimampukan, diberi hidayah, dan diampuni dosa-dosanya. Kamu tak sendiri, ada Allah yang bantu!

Muthi Fatihah Nur
28/01/2022

Tulisan : 4 Kiat Komunikasi Harmoni dalam Keluarga

Haha. Maafkan judul yang terkesan mantap itu. Tentu saja aku pun tak semantap itu dalam pengaplikasian. Masih belajar dan akan terus belajar. By the way, Sedikit tambahan, yang aku coba tuliskan disini adalah komunikasi dalam keluarga. Bukan karena ahli, seperti biasa, hanya sekedar berbagi kisi-kisi. Dan berharap bersama-sama bisa memberi inspirasi 🙂

Komunikasi selalu menjadi bahasan menarik dalam Keluarga. Karena, menurut banyak cerita-keluarga, meski tinggal satu atap, kadang tak saling menyapa. Meski berbagi satu kamar mandi, tapi lebih sering sibuk sendiri. Meski rela satu telur dibagi dua, tapi sedikitnya bincang dan enggan terbuka seringkali menjadi penyebab terciptanya jarak antar anggota keluarga.

Mengapa terkadang kita abai dengan kondisi ini? Karena kita seringkali merasa masih punya “orang lain” di luar sana yang lebih menyenangkan untuk diajak bicara. Untuk diajak berdiskusi. Untuk sekedar mengusir kesepian dan kebutuhan untuk didengarkan. Kalau masih di fase masih tinggal bersama keluarga besar, rasa dingin saat tak berkomunikasi itu ya memang tak begitu terasa. Tapi jika nanti, dirimu telah menikah dan hanya tinggal berdua bersama pasangan, tak berkomunikasi adalah siksaan. Kesepian yang hakiki. Meskipun kamu ketawa ketiwi dengan teman di dunia online, kamu tak bisa menghapus ketidaknyamanan karena tak sanggup berkomunikasi dengan orang yang bersamamu minimal 8 jam sehari itu.

Persoalan komunikasi bagiku seperti hidung mampet. Kelegaan yang hanya bisa didapatkan dengan menghilangkan atau memperbaiki sumber mampetnya. Atau ia seperti perang yang terlanjur di pelupuk mata. Janganlah berlari darinya tapi hadapilah. Dan selesaikanlah. Meskipun kamu terbata-bata dalam mengucap ‘maaf’ , ‘tolong’, dan ‘terima kasih’, bukan berarti kita menyerah untuk mengatakannya bukan?

Ada 4 hal yang selalu kuingat-terngiang-ngiang di kepala dengan sengaja-karena ini jadi patokanku kalau menghadapi masalah atau persoalan komunikasi-dan membereskannya.
Bismillah, mari bersama kita selami.

  1. Allah dulu. Allah Lagi. Allah Terus.

Selalu ingat bahwa semuanya karena Allah. Untuk Allah. Dari Allah. Seluruh hidup kita.

Apa yang kita lakukan selama pernikahan inipun, semua adalah wujud ibadah kita, untuk Allah. Bukan untuk siapapun. Bukan untuk orang tua. Bukan untuk suami kita. Bahkan bukan untuk diri kita sendiri. Tapi amat penyayangnya Allah, dalam proses Ibadah ini Allah telah memberi kita banyak sekali hal, yaitu rezeki, keturunan, dan kesenangan-kesenangan lainnya.

Saat kita ingat semua ini untuk Allah, kita memercayai bahwa setiap pekerjaan rumah tangga yang kita geluti adalah kebaikan, kita memercayai bahwa setiap senyum dan taat kita pada suami adalah kebaikan, kita memercayai bahwa setiap harta suami yang kita jaga adalah kebaikan. Kebaikan yang kita lakukan karena kita menaati Allah dan RasulNya.

Saat kita ingat semua ini untuk Allah, kita lebih bisa menahan diri. Untuk sedikit marah. Untuk sedikit kecewa. Untuk sedikit berduka. Untuk sedikit mengeluh. (Aku tidak menggunakan kata tidak karena memang bisa jadi, tak mungkin untuk tidak merasakan perasaan negatif tadi)

Pada suatu hari aku pernah cemburu dan marah pada suami, kemudian sekian lama, kusadari cemburuku tak beralasan, tapi aku menemukan penyebab hadirnya amarah dan cemburu itu. Kukatakan padanya, “Mas, sepertinya aku melakukan ini-itu untuk kamu. Jadi kalau kamu nggak peduli, aku kecewa dan marah. Harusnya tidak. Harusya untuk Allah”

Menikah karena Allah, lalu menjaga keutuhan dan keharmonisan rumah tangga adalah perintahNya. Kita ingin bersama selamanya kan? Keabadian di sisiNya sungguh layak diperjuangkan. Berkumpul bersama keluarga di sisi yang diridhaiNya. Bukankah itu yang kita inginkan?

2. Cinta itu mendengarkan, maka dengarlah Cintamu.

Meuni geleuh eta judul. Haha. Tapi serius. Urutan kedua, setelah mengingat Allah senantiasa menjadi tujuan kita dan mematuhi perintah Allah dan Rasulnya untuk menjaga keutuhan rumah tangga, adalah cinta.

Akuilah. Kita menikah karena adanya cinta ‘mawaddah’ * dan mungkin juga ‘Hubban’*. Tentu kita mencintai pasangan kita atau kita memutuskan untuk mencintainya, cinta itu menjadi kebaikan. Dengannya (cinta) kita rela melakukan sesuatu untuknya. Dengannya kita menerima kekurangannya dan kelebihannya. Dengannya kita memahami dan memperlakukannya dengan baik. Dengannya kita menerima pengaruh cinta untuk mengubah kita. Dan dengan cinta pula, kita meminta maaf dan juga memaafkannya.

Saat terjadi perselisihan, ingatlah kebaikan-kebaikan dan cinta dari orang yang kamu selisihi itu. Dengarkan cintamu yang mengajakmu berbuat baik kepadanya. Cinta yang baik akan menuntunmu ke perbuatan baik. Jangan dengarkan asumsi asumsi jahat dari pikiranmu tentang orang yang kamu cintai. Itu sesungguhnya dari syaitan.

Selain mendengarkan cinta yang ada dihatimu, dengarkan juga cinta yang berwujud manusia itu. Karena seringkali selisih datang dari kekurangan keduanya. Lihatlah cerita dari sisinya. Dengarkan sebab dan alasannya bahkan keluhannya. Mungkin pada akhirnya kamu bisa menemukan jalan keluar dari kelumit atau perselisihan itu.

3. Mengalah

Untuk part ini simpel saja, saat kita berselisih dengan orang yang kita cintai, apakah penting untuk merasa menang? Apakah inti masalahnya bisa selesai dengan mengetahui bahwa, “aku yang benar, kamu salah”. Apalagi saat berselisih dengan pasangan, kita tahu bahwa kita tidak sedang berkompetisi di dalam rumah. Jadi, untuk apa?

Memilih untuk menurunkan ego terlebih dahulu, untuk mendengarkan terlebih dahulu, untuk meminta maaf terlebih dahulu, untuk mengaku salah terlebih dahulu, dan memulai hubungan baik terlebih dahulu, InsyaAllah tidak akan membuat keadaan menjadi lebih buruk. Seringkali, itu malah mempercepat rekonsiliasi dan terbukalah diskusi. Nanti disaat yang tepat, ambillah waktu untuk saling menasihati dengan baik.

Kecuali, pasangan kita “fix” adalah seorang yang manipulatif, dan kita dalam keadaan yang diinjak-injak HAM-nya. Jangan bersedia untuk direndahkan.

4. Akhirkan Gengsi

Menurutku, gengsi adalah hal yang seringkali menghalangi kita untuk melakukan hal diatas (mengalah). Gengsi seringkali menghalangi kita untuk melakukan hal yang seharusnya. Gengsi seringkali menghalangi kita untuk mengatakan maaf, terima kasih, pada mereka, orang terdekat. Karena apa? Karena tak terbiasa saja. Malu. Dalam melakukan hal yang benar saja kadang kita merasa malu, apalagi saat mengaku salah?

Btw, sekilas info, di KBBI, Gengsi = harga diri / kehormatan.

Memang sangat berat saat harus mengaku salah. Memalukan rasanya. Tapi tidak apa. Sungguh. Mereka yang benar mencintaimu tidak akan mengolok-olok kekuranganmu, atau perbuatan salahmu. Mereka yang telah dewasa dan cukup bijaksana, akan mengetahui bahwa kesalahan bukan untuk diumbar dan dibesar-besarkan tanpa solusi.

Akhirkan gengsi, bermakna, diantara keempat hal ini, jadikanlah gengsimu yang terakhir. Aku tidak mengatakan bahwa harga diri itu tidak penting. Tapi , kalau harga diri atau gengsi itu menghalangimu dari kebenaran, maka tepikanlah dulu ia (gengsi). Dan pilihlah untuk melakukan hal yang benar.


Suatu hari, aku pernah menghabiskan sekitar 10 menit tak bicara apa-apa di hadapan suami. Dia tahu aku mau mengatakan sesuatu, oleh karena itu ia menunggu. Tapi lidah benar-benar tidak bisa diajak kerjasama. Padahal aku sebenarnya hanya ingin minta maaf. Tapi rasanya, ya memang kadang memalukan kalau dilakukan terlebih dahulu.


Begitulah. Sedikit ceritaku dan kisi-kisi versiku dalam mengarungi hubungan bersama keluarga. Aku berharap, kita semua bisa membangun keluarga islam yang kokoh dan harmonis. Mengetahui banyaknya anak, istri, suami, yang menderita karena tak bisa saling berkomunikasi dan menyebabkan permasalahan besar di kemudian hari, sungguh memilukan.

Keluarga adalah dimana cinta diciptakan dan diwariskan. Kehidupan yang baik dalam keluarga tentu saja berperan besar dalam mewariskan generasi yang lebih baik untuk masa depan.

Salam Sayang,
Muthi Fatihah Nur
11/29/2021


———

*Cinta Hubbun : ata Hubbun, yang merupakan naluri dasar yang dianugerahkan Allah kepada seluruh umat manusia, tanpa terkecuali. Yang memiliki arti kecintaan dan kesukaan. Dalam beberapa tafsir, dijelaskan lebih gamblang, bahwa Hubbun (mahabbah) diartikan sebagai cinta yang bersifat meluap-luap dan bergejolak

*Cinta mawaddah : Mawaddah (wuddan) berarti kasih sayang yang memiliki sifat menentramkan yang dapat diraih dengan pernikahan oleh masing-masing pasangan akan diberi hadiah kasih sayang dan rahmat oleh Allah SWT sebagai karuniaNya

(sumber : disini)

Tulisan : 3 Kunci Bersyukur

*Catatan ini terinspirasi oleh Kajian Online : Kajian Wanita oleh Ust Nuzul Dzikri yang bisa kamu akses disini

Suatu sore yang hangat, bukan hangat karena sinar matahari, bukan hangat karena api, tapi hangat karena setrika yang ada di hadapan. Sambil mendengar kajian ini, air mataku bercucuran sambil sembunyi. Takut dikira tersakiti, padahal sedang intropeksi diri.

Sehari sebelumnya, di sebuah takdir yang random, aku duduk di sebuah angkot dimana sang supir dan teman sebangkunya sedang berbincang. Obrolan itu begitu keras hingga akupun mendengarnya. Yowis, kudengarkan saja sambil manggut-manggut. Lalu obrolan mereka sampai pada suatu kalimat (dengan bahasa sunda) :

“Perempuan itu, kalau dikasih uang diam”
“Kalau pulang nggak bawa uang, tidak berhenti bicara”

Aku istighfar dalam hati. Mikir juga. Apa iya perempuan itu ‘secara umum’ mudah untuk melakukan itu? (sulit bersyukur,mudah mengeluh)

Pikirku melayang. Mulut dan hati kita memanglah merupakan 2 hal dari diri kita yang perlu disekolahin. Eh, dididik. Terutama untuk perempuan. Puluhan ribu kata yang katanya biasa dikeluarkan oleh perempuan dalam sehari, pelampiasannya bisa kesana kemari dan aktualisasinya belum tentu selalu baik. Banyak godaan untuk misuh-misuh, ngeyel, ngejek, julid, ghibah, dan lain-lain. Oleh karenanya emang harus dijaga nih organ yang ada di dalam gua berpagar gigi ini (lisan).

….
Lanjut ke kisah menyetrika diatas…
Dalam kehangatan setrika tersebut, aku banyak berpikir. Tentangku. Tentang keluargaku. Tentang pekerjaanku. Juga pernikahan yang juga telah Allah karuniai waktu dua bulan ini, membuatku banyak intropeksi, menggali makna jika ada suatu peristiwa terjadi.

Aku khawatir, selama ini, telah menjadi perempuan, atau seorang istri yang banyak mengeluh. Makna-makna tentang syukur yang aku pelajari bahkan sering kubagi dalam rangka membina (mengisi suatu materi tentang syukur) menyerang balik diriku kala itu. Apalah hati kita ini, yang mampu berbulak balik seperti sekoci di samudera, suka lupa omongan sendiri.

Dan inilah yang kudapati dari kajian sore itu dari Ust. Nuzul Dzikri

Ada tiga kunci dalam bersyukur dari (Al Imam Ibnu Qayyim)

1. Pengakuan atas apa yang kita dapatkan itu semua karunia, nikmat dari Allah.

Kita mengakui yang kita dapatkan itu dari Allah. Pengakuan itu melahirkan perasaan tunduk, rasa hina dihadapan Allah, dan rasa cinta kepada Allah

Ini menarik. Salah satu yang Ust Nuzul Dzikri tekankan adalah, jangan merasa pantas / jangan mengedepankan kepantasan kepada Allah. Pantas menerima kebaikan tersebut. Kadang kita merasa angkuh, merasa diri sudah melakukan banyak hal, merasa sudah berjasa sehingga kita pantas mendapatkan sesuatu. Padahal kenyataannya.. jika kita berkaca, diri kita ada banyak salah, kita banyak dosa..

Saat seseorang merasa amat sengsara atau menderita, barangkali ternyata kita lupa bersyukur. Salah satu penyebabnya adalah hal diatas, karena kita merasa punya posisi bargain kepada Allah sehingga suatu titik kita merasa ekspektasi kita tidak terpenuhi, kita justru marah kepada Allah. ‘Kenapa saya diperlakukan seperti ini, kenapa saya diuji oleh hal ini?’

Dan itu lah yang membuat kita tak bahagia….

Nyatanya Allah itu amat cinta sama kita, kita telah diberikan banyak sekali pemberian.. berkacalah, bahwa tak banyak orang yang seberuntung kita..

2. Senantiasa membicarakan nikmat tersebut secara ‘nyata’

Sesulit apapun masalah kita, serumit apapun perasaan kita, cobalah untuk selalu bersyukur. Menjaga lisan senantiasa memuji Allah dan membicarakan nikmat Allah. Nggak mudah? betul nggak mudah. Ngeluh jelas lebih mudah, hehe.

Dalam surat Ad Dhuha ayat 11, kita juga dianjurkan untuk menyampaikan nkmat-nikmat yang Allah telah berikan, asal niatnya ikhlas.

Sejujurnya untuk sampai ke poin dua ini, poin satu harus berhasil kita lakukan.
Pengalamanku pun, saat kita ‘mendapat sesuatu yang kita tidak inginkan’ atau ‘ekspektasi kita meleset dari apa yang kita harapkan’, hati tuh memberontak.

“Kok” “Kenapa” “Padahal”, jadi tiga kata favorit yang diucapkan. Kadang, masih ada sesal atau sebal. Bahkan pedih-perih hati ini mengakui kalimat ini, (apa yang Ust Nuzul Dzikri katakan dalam video kajian itu, link ada diatas)… “Baiklah, aku banyak salah, aku memang tidak pantas mendapatkan itu, begini pun sebenarnya sudah baik dan patut disyukuri” Proses itu, lama dan penuh air mata kalau aku.

Berdo’a. Berdo’a.Berdo’a.
Minta tolong kepadaNya. Ucapkan syukur dalam do’a do’a itu. Semoga Allah melapangkan hati kita…

3. Gunakan nikmat yang diberikanNya untuk mencari ridha Allah

Ada banyak cara bersyukur. Beberapa orang melakukan hal ini dan hal itu-pamer,sombong, bermegah-megahan- sebagai tanda syukur, katanya. Nah inilah yang perlu diperhatikan. Ada pula nikmat-nikmat yang Allah berikan , misal berupa penglihatan, pendengaran, tangan, kaki, kecantikan dan ketampanan, harta , kuasa yang malah jadi sarana kita berbuat kerusakan atau berbuat salah. :”) Jangan..

Tanda syukur yang sejati adalah menggunakan nikmat yang diberikan menjadi kebaikan. Mencari keridhaan Allah. Kalau tidak mengarah kesana, ya jangan lakukan. Ini memanglah pekerjaan tingkat tinggi. Di dunia yang rumit ini, pelik untuk betul-betul ‘lurus’ (karena godaan yang sangat banyak). Tapi apa yang bisa kita lakukan selain berusaha? Mari terus berusaha. Biarlah Allah yang jadi penggarisnya. Kita mengukur baik buruk diri kita dari parameterNya. Bukan yang lain.

Sekali lagi, mari berkaca, dan lihatlah apa yang Allah telah berikan kepada kita.. Sudahkan kita gunakan nikmat-ikmat tersebut untuk kebaikan atau belum? kalau belum, hayu laksanakan. Lakukan. Belajar dari saat ini.


“Berharaplah agar Allah menjadikan kalian termasuk orang-orang yang ketika diberi nikmat ia bersyukur, ketika ditimpa musibah ia bersabar, dan ketika berdosa ia beristighfar. Tiga hal ini adalah awal kebahagiaan seorang hamba dan keberuntungannga di dunia dan akhirat. Karena (kehidupan) seorang hamba tidak mungkin bisa lepas dari tiga hal ini, senantiasa akan berputar pada tiga kondisi ini.” —Al Imam Ibnul Qayyim رحمه الله

Begitulah, pada akhirnya setelah baju yang harus disetrika pun habis, aku menghapus air mataku juga. Bersyukur adalah pekerjaan tingkat tinggi. Sepasang sabar dan syukur, berarti pula tak banyak mengeluh dan tak banyak alasan. Aku tahu aku belum sampai betul ke titik itu. Mari lebih heartfull, berusaha menguatkan hati, untuk sadar akan bersyukur dari hari ke hari. Jam ke jam. Menit ke menit. Detik ke detik.

Ya Rabb, sayangilah kami..

25 Juli 2021
– Muthi Fatihah Nur

Gambar sampul diperoleh dari <a href=”http://Photo by <a href=”https://unsplash.com/@prochurchmedia?utm_source=unsplash&utm_medium=referral&utm_content=creditCopyText”>Pro Church Media</a> on <a href=”https://unsplash.com/s/photos/gratitude?utm_source=unsplash&utm_medium=referral&utm_content=creditCopyText”>Unsplashsini

Tidak Ada

Ya Rahman, ya Rahiim…

Tidak ada kalimat yang benar-benar patut kami sampaikan selain bersyukur sebanyak-banyaknya. Atas segala kemudahan, segala cinta dan kasih sayang yang kami dapatkan dari pertalian silaturahmi yang erat diantara seluruh teman, saudara, dan keluarga kami.

Tidak ada ekspresi ataupun kata sifat yang benar-benar bisa mewakili perasaanku, selain syukur yang berlipat dan bereksponensial. Bukan atas kebahagiaan, tapi atas hal hal kecil yaitu bagian dari kemudahanNya dalam mempersatukan kami

Tidak ada yang ingin betul kami tampakkan selain ‘nyata’nya kasih sayang antara kami berdua dan berharap orang lain mendoakan kebaikan atasnya

Allah..
yang Maha Mengabulkan do’a..
Terima kasih untuk segalanya..

21 Mei 2021

Prosa : Mendefinisikan Rasa

Dan, tak akan pernah berani aku mendefinisikan perasaanku. Kubiarkan ia begitu adanya. Yang tersenyum dikala engkau tersenyum, yang khawatir jika engkau sakit, yang tiba-tiba diam saat engkau duduk dengan yang lain.

Sampai ke detik itu, aku minta izin untuk tak mendefinisikan perasaanku. Tak kubiarkan diri berpikir, sesuatu telah jadi milikku. Ia akan terluka dan banyak bertanya antara jika dan maka. Meminta hak atas kepemilikan yang belum ataupun bisa pergi kapan saja.

Bersabar aku karena tidak boleh mendefinisikan perasaanku. Nanti saat kita bertemu lagi di hari itu, izinkan aku bertanya, mengapa engkau menerimaku.

Bandung, 1 April 2021

Tulisan : Yang Kuat

Diam-diam Allah memang sedang menjadikan kita lebih kuat. Lebih tangguh. Naik level lah. Tapi mengapa di saat (katanya) diri telah menjadi lebih kuat, nyatanya diri justru jadi lebih banyak menangis?

Kenapa sih, nangis mulu.
Hidupnya susah banget ya.
Banyak masalah apa gimana sih.
Ujiannya berat banget apa ya.
Jangan sedih mulu lah.
Banyak orang yang lebih besar ujiannya kok.

Kadang, aku berpikir kata-kata tersebut muncul dalam benak orang-orang saat melihat seseorang menangis, apalagi jika bukan hanya sekali. Apa yang orang pikirkan tentang air mata seseorang . Entahlah, tapi bagiku, air mata adalah bahasa cinta yang tulus, mungkin lebih tulus daripada kata-kata. Meskipun kutahu ada juga sih air mata palsu.

Yang pasti tulus? Wallahu a’lam. Hati manusia memang sangatlah dalam.


Kuat itu hanya apa yang terlihat di mata manusia. Sedangkan tangisan, seringkali disembunyikan.

Nyatanya, berapa banyak yang kuat itu berulang kali, menjadi yang lemah di hadapan Allah. Jatuh sejatuh-jatuhnya. Meminta kekuatan atas hal yang tak kunjung ia bisa raih. Mungkin lemahnya diri adalah sebab mengapa hasil meleset dari ekspektasi dan ikhtiar. Juga memohon perlindungan dari keburukan yang mungkin menimpa diri.

Nyatanya, yang kuat itu tak punya apa-apa. Jadi dia berulang kali meminta bantuan agar mampu melewatinya dengan baik. Agar bisa terus bertahan. Agar bisa terus memberi sebaik-baik pemberian. Juga meminta bantuan kepadaNya karena kefaqiran diri. Menyadari bahwa milikNya lah segala yang dipunya. Juga apa yang diri ini tidak punya. Cukuplah Dia yang nanti memenuhi kebutuhan dan terantarkan lewat ikhtiar.

Di dunia ini, tak akan sampai segala daya atau upaya kecuali kehendak dariNya. Dan mengharap pada makhluk hanyalah membuat kita lelah sendiri.

Nyatanya jika ingin benar-benar kuat, Allah haruslah menjadi sandaran. Ternyata ia yang kuat itu perlu memohon kekuatan dari Yang Maha Kuasa, Yang Maha Segala., sehingga ia benar-benar dikuatkan.

Dan pada akhirnya, yang dibilang kuat itu justru yang sebenarnya paling banyak menangis.

Bandung, 30 Januari 2021
Muthi Fatihah Nur

Puisi : Hujan Turun Tidak Merata

Dingin hari ini telah membekukan aku

Maafkan aku yang hari ini kasar

Seharusnya aku lebih awal untuk sadar

Bahwa :

Hujan mungkin memang tidak turun merata

Sama seperti ekspresi kita pada tiap tiap peristiwa

Bedanya, hujan turun atas kadarnya

Kita, kadang terpenjara oleh rasa dalam jiwa

Kadang, dalam hujan aku ingin diselamatkan

Kadang, dalam hujan aku ingin dibiarkan

Ternyata dingin hari ini, jadikan aku tak sehat

Lebih banyak tersenyum adalah obat darimu untukku

Meski senyummu untuk sebagian dan aku bukan

Kau tahu, hujan tak selalu turun merata

Kecuali antar yang dekat

Tapi selama aku tahu kamu baik baik saja

Kau tahu, senyum tak selalu harus dilihat dari dekat

Jadi tersenyumlah, siapa tahu aku jadi sembuh


Bandung, 28 Januari 2020
Muthi Fatihah Nur